Translate

Rabu, 26 April 2017

Keterbatasan UU No. 36 Telekomunikasi Dalam Mengatur Penggunaan Teknologi Informasi




Keterbatasan UU No. 36 Telekomunikasi Dalam Mengatur Penggunaan Teknologi Informasi

        Saya akan membahas mengenai UU No.36 mengenai telekomunikasi. Undang-undang ini berisikan asas dan tujuan telekomunikasi, penyidikan, penyelenggaraan telekomunikasi, sangsi administrasi dan ketentuan pidana.

      Menurut undang-undang No. 36 Tahun 1999 mengenai Telekomunikasi pada pasal 38 yang berisikan “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi”. Pada undang-undang ini lebih terfokus kepada gangguan yang bersifat infrastruktur dan proses transmisi data, bukan mengenai isi content informasi. Dengan munculnya undang-undang ini membuat terjadinya perubahan dalam dunia telekomunikasi.

      Lahirnya Undang-Undang (UU) No. 36 Tahun  1999 tentang Telekomunikasi sebagai pengganti UU No. 3 Tahun  1989 bukannya tanpa alasan. Mencuatnya  pandangan bahwa regulasi yang ada saat  itu  dinilai  sudah  tidak  memadai  lagi merupakan  titik  awal dilakukannya  peninjauan kembali terhadap UU No. 3 Tahun 1989, dimana salah satu hasil utamanya adalah dihapuskannya  sistem  penyelenggaraan  telekomunikasi yang bersifat  monopolistik. Namun lahirnya  UU  No.  36 Tahun  1999 pun  tidak  membuat   masalah  di  sektor  telekomunikasi berhenti. Saat ini terdapat banyak indikasi akan perlunya UU tersebut untuk  direvisi. Perbandingan yang dapat diketahui secara ringkas terkait kedua UU tentang telekomunikasi tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut :



Sumber : UU Telekomunikasi No.3 Tahun 1989 dan UU No.36 Tahun 1999

Laporan ini berusaha menginventarisasi  faktor-faktor yang mendorong  lahirnya UU No. 36 Tahun  1999, membuat  analisa kebijakan pada UU No. 36 Tahun 1999 terkait dengan model bisnis baru serta memberikan  saran yang relevan terkait dengan perubahan  tersebut.
Permasalahan yang Ingin Dijawab
Laporan  Akhir  ini  mencoba  menjawab  beberapa  permasalahan  mengenai  perubahan   UU Telekomunikasi, yaitu:
1.  Mencari fakta pemicu lahirnya UU No. 36 Tahun 1999;
2. Melakukan analisis untuk menilai keterbatasan UU No. 36 Tahun 1999 saat ini sesuai dengan tema ICT Outlook  2012; dan
3. Menyusun kesimpulan dan saran yang dapat diterapkan



Dasar Teori

Laporan ini menggunakan model analisis kebijakan Weimer - Vining dengan kerangka berikut :


Model Analisis Kebijakan Weimer-Vining

Analisa

Pemicu Lahirnya UU No. 36 Tahun 1999
Menurut beberapa sumber, faktor yang memicu lahirnya UU No. Tahun 1999 adalah:
1.  Perubahan teknologi;
2. Krisis Ekonomi, Sosial dan Politik; serta
3. Dominasi pemerintah dalam penyelenggaraan telekomunikasi dan proyek Nusantara21;
4. Perubahan nilai layanan telekomunikasi dari barang publik menjadi komoditas;
5. Teledensity  rendah;
6. Masuknya modal asing di sektor telekomunikasi;
7. Keterbatasan penyelenggara pada era monopoli dalam hal pembangunan  infrastruktur;
8. Pergeseran  paradigma  perekonomian dunia,  dari  masyarakat  industri  menjadi  masyarakat informasi;
9. Praktik  bisnis yang tidak sehat di sektor telekomunikasi; dan
10.Kurangnya sumber daya manusia di sektor telekomunikasi.

Keterbatasan UU No. 36 Tahun 1999 saat  ini
Untuk mengidentifikasi  permasalahan,  Weimer - Vining  menawarkan  penggunaan  pohon keputusan  dengan model berikut :


“Pohon Keputusan” Analisis UU No. 36 Tahun 1999 Saat Ini

      Dalam kasus yang menjadi tema utama ICT  Outlook  2012, beberapa variable diperlukan  dalam menggunakan  model  “pohon  keputusan”  tersebut antara  lain ARPU operator   dan  revenue OTT  dan  teledensitas [1] , perkembangan  teknologi [2] serta regulasi. Ketiga  variabel  tersebut apabila diimplementasikan ke dalam “pohon keputusan” akan menghasilkan skema berikut :
Hasil dari penggunaan “pohon keputusan”  diketahui  bahwa terjadi market failure dan goverment failure  di mana  saran  yang  sesuai adalah menemukan kebijakan yang unggul dan membandingkan cost dari implementasi  kebijakan tersebut terhadap market failure. Indikasi dari market failure terlihat dari ARPU  operator  yang kian  menurun.  Hal  ini berbanding  terbalik dengan  peningkatan  teledensitas dan revenue  bisnis OTT  yang terus terjadi. Sementara  itu, pemerintah juga turut  serta memberikan  warna terhadap fenomena market failure. Government failure yang terjadi disebabkan oleh kegagalan pemerintah dalam mengantisipasi  perkembangan teknologi.

     Perkembangan teknologi, seperti  teknologi IMS, dapat  merubah  model bisnis telekomunikasi secara  keseluruhan.   Sebagai  contoh,   sebuah  pelang gan  dapat membeli  atau  menyewa infrastruktur  dari  sebuah  penyelenggara  dan  berlangganan sebuah  atau  beberapa  layanan kepada penyelenggara lainnya. Hal ini tentunya dapat menyebabkan  model bisnis yang tadinya berupa  intergrasi  vertikal, dimana penyelenggara menguasai bisnis dari hulu ke hilir, berubah menjadi  integrasi  horisontal untuk mereduksi  CAPEX  dan  TCO   serta mengoptimalisasi OPEX  sehing ga penyeleng gara  dapat  bersaing  dalam  sistem  kompetisi  penuh.  Selain disebabkan  oleh market failure, kegagalan regulasi dalam mengadopsi  perubahan  model bisnis juga  menjadi sebab  utama  dalam  permasalahan  ini.  UU  No.  36  Tahun   1999  gagal mendefinisikan dengan jelas batasan dan jenis jasa telekomunikasi sehingga banyak bisnis OTT yang menjamur dengan menumpang “secara gratis” kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi.

      Jadi UU No.36 tersebut dapat mengatur penggunaan teknologi informasi, karena dalam undang-undang tersebut berarah kepada tujuan telekomunikasi dan otomatis dapat sekaligus mengatur penggunaan informasi tersebut sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam undang-undang ini juga tertera tentang penyelenggaraan telekomunikasi, sehingga telekomunikasi dapat diarahkan dengan baik karena adanya penyelenggaraan telekomunikasi tersebut.
Penyidikan dan sangsi administrasi dan ketentuan pidana pun tertera dala undang-undang ini, sehingga penggunaan telekomunikasi lebih terarah dan tidak menyimpang dari undang-undang yang telah ada. Sehingga menghasilkan teknologi informasi yang baik dalam masyarakat.
  
Kesimpulan

Dari penulisan  ini bisa disampaikan  sebuah  kesimpulan,  yaitu terjadi perulangan  fenomena antara  yang terjadi  di  jaman  UU  No.  3  Tahun  1989  dan  UU  No.  36 Tahun  1999  yaitu ketidakmampuan regulasi dalam mengadopsi  perkembangan teknologi dan pergeseran  model bisnis telekomunikasi.

Saran
1. Diperlukannya  sebuah  regulasi baru  yang dapat  mengadopsi  model  bisnis  baru  di         sektor telekomunikasi yang memisahkan  antara  layer layanan dan  infrastruktur                   sehingga sebuah penyelenggara  dapat  mereduksi  TCO  serta  bersaing  dan                     bersimbiosis  mutualisme  dengan jenis penyelenggara layanan baru.

2. Diperlukannya  sebuah model interaksi  dalam regulasi untuk  mengatur  mekanisme             interaksi antar  penyelenggara telekomunikasi, baik itu penyelenggara layanan maupun       infrastruktur. Sehingga terdapat mekanisme bisnis yang sehat antar penyelenggara               telekomunikasi.



Referensi :
  1. Data ARPU bersumber dari http://mtel.mercubuana.ac.id/wp-content/uploads/2010/09/paper04.pdf
  2. Perkembangan teknologi yang dimaksud adalah perkembangan teknologi yang berkaitan dengan konvergensi TIK, antara lain adalah teknologi IMS (IP Multimedia Subsystem) yang bersumber dari http://www.rennes.enst-bretagne.fr/~gbertran/files/IMS_an_overview.pdf)