KERJASAMA MICROSOFT CORP. DENGAN PEMERINTAH
INDONESIA DALAM BIDANG ICT (INFORMATION AND COMMUNICATION TECHNOLOGY) TAHUN 2006
Abstract:
This research aims to describe the cooperation undertaken by
the Microsoft Corporation and the Government of Indonesia in the field of Information
Technology. This type of research is descriptive which
describes the collaboration between Microsoft Corporation
and the Government of Indonesia agreed through the MoU (Memorandum of Understanding) in advancing information technology and increasing enforcement against violations of Intellectual Property Rights (IPR) in Indonesia.
Data presented are the secondary data obtained through literature review and literature
such as books, internet,
and others. The
analysis technique used is
qualitative analysis techniques.
The results showed the MoU between Microsoft Corp. with the Indonesian government realized in the form of cooperation in the field of ICT. There are three programs that have been implemented, the National Single Window, Microsoft Innovation Center, and Bina-ISV program. Microsoft and Indonesian government was hope with the implementation of the three programs, to develop technology and information in Indonesia. As well as being a solution for the many cases of violations of Intellectual Property Rights.
The results showed the MoU between Microsoft Corp. with the Indonesian government realized in the form of cooperation in the field of ICT. There are three programs that have been implemented, the National Single Window, Microsoft Innovation Center, and Bina-ISV program. Microsoft and Indonesian government was hope with the implementation of the three programs, to develop technology and information in Indonesia. As well as being a solution for the many cases of violations of Intellectual Property Rights.
Pendahuluan
Kemajuan teknologi dan informasi yang
sangat pesat, telah mendorong globalisasi Hak atas Kekayaan Intelektual atau
yang disebut juga dengan HaKI. Suatu barang atau jasa yang hari ini diproduksi
oleh suatu negara, disaat berikutnya telah dapat dihadirkan di negara lain.
Kebutuhan untuk melindungi barang atau jasa dari kemungkinan pemalsuan atau
persaingan yang tidak wajar juga berarti kebutuhan untuk melindungi HaKI yang
digunakan untuk membuat produk yang bersangkutan.
Secara subtantif pengertian HaKI dapat
dideskripsikan sebagai “Hak atas Kekayaan yang timbul atau lahir karena
kemampuan intelektual manusia”. Perlindungan
terhadap HaKI itu sendiri menjadi sama pentingnya dengan perlindungan
kepentingan hukum dan ekonomi, terutama dalam
pandangan internasional karena selanjutnya pertikaian HaKI sudah tidak
lagi menjadi masalah teknis hukum, tetapi juga menyangkut pertikaian bisnis
untuk meraih keuntungan.
Salah satu pelanggaran terhadap HaKI yang
banyak terjadi yaitu pelanggaran hak cipta pembajakan software. Software adalah
perangkat lunak yang diformat dan disimpan secara digital, termasuk program
komputer, dokumentasinya, dan berbagai informasi yang bisa dibaca dan ditulis
oleh komputer. Dengan kata lain, bagian sistem komputer yang tidak berwujud
atau immaterial. Software juga adalah
sekumpulan data elektronik yang disimpan oleh komputer, data elektronik yang
disimpan dapat berupa program atau instruksi yang akan menjalankan suatu
perintah. Dapat dikatakan, bahwa software
merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari komputer (hardware). Hal ini dimanfaatkan dengan
baik oleh para cracker (istilah bagi
orang yang membajak software) untuk
dapat mengeruk keuntungan. Mereka menawarkan software hasil bajakan mereka tanpa harus membayar. Akan tetapi,
mereka dengan sengaja memasukkan virus atau malware
ke dalam software hasil bajakan
mereka.
Keadaan ini menyebabkan Indonesia masuk untuk pertama kalinya dalam
daftar Priority Watch List (PWL) pada
tahun 2004, yang dipublikasikan oleh Departemen Perdagangan Amerika Serikat
(USTR).[2]
PWL itu sendiri merupakan laporan yang berisi hasil survei tentang jumlah kasus pelanggaran HaKI di beberapa
negara.
Kebanyakan masyarakat awam yang kurang mengerti tentang teknologi komputer
dan perbedaan antara software legal
dan ilegal membelinya di toko-toko komputer atau retailer dengan sangat murah dan biasanya memiliki perbedaan harga
yang sangat jauh dengan software aslinya.
Di Indonesia, keadaan ini menjadi faktor utama yang menyebabkan pembajakan software tumbuh subur di tengah
perkembangan teknologi yang sudah semakin maju. Sebagai contoh harga dari
lisensi sistem operasi Windows 7 Ultimate asli dijual dengan harga Rp.
1.727.000. versi bajakannya dapat dijual dengan harga Rp. 30.000 saja. Perbedaan harga yang sangat jauh ini
membuat masyarakat di negara berkembang, khususnya di Indonesia lebih memilih software versi bajakan dengan harga yang
jauh lebih murah dan kualitas yang tidak kalah bagus dengan software aslinya. Dalam kasus ini ada 5 software yang paling banyak dibajak,
yaitu produk-produk Microsoft, Adobe, Symantec, Autodesk, dan Corel. Karena
produk ini merupakan software yang
sering digunakan dalam menunjang kegiatan dan aktifitas
dari konsumen itu sendiri, baik dalam
lingkup perkantoran maupun penggunaan secara individu.
Ada
beberapa kasus pelanggaran yang terjadi pada tahun 2001, yaitu pembajakan
piranti lunak yang diproduksi oleh Microsoft Corp. yang dilakukan oleh empat
gerai komputer di Indonesia, yaitu PT. Panca Putra Komputindo, HJ Komputer, HM
Komputer, dan Altec Komputer. Dimana keempat perusahaan ini terbukti telah
mendistribusikan dan menyalin secara ilegal produk software Microsoft, yaitu Microsoft
Office dan Microsoft Windows di
produk-produk komputer yang mereka jual kepada konsumen. Pihak Microsoft
kemudian mendapatkan ganti rugi senilai US$ 5,5 juta dari kasus ini. Di Indonesia sendiri
upaya pemerintah dalam mengatasi maraknya pembajakan software sudah cukup serius, yaitu melalui Keppres No.4 Tahun 2006
pemerintah membentuk Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan
Intelektual atau Timnas HKI yang berada dibawah naungan Direktorat Jenderal
HKI, dimana salah satu tugasnya yaitu mengkaji dan menetapkan langkah-langkah
penyelesaian permasalahan strategis mengenai penanggulangan pelanggaran HKI,
termasuk pencegahan dan penegakan hukum di Indonesia Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai yaitu untuk mengetahui dan
mendeskripsikan penerapan MoU antara
Microsoft Corporation yang diwakilkan oleh PT. Microsoft Indonesia sebagai anak
perusahaan dengan pemerintah Indonesia melalui Depkominfo terhadap perkembangan
Teknologi Informasi di Indonesia dan terhadap penegakan HKI.
Kerangka Dasar Teori
1. Cyber Law
Cyber Law adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia
maya) yang umumnya diasosiasikan dengan internet. Cyber Law merupakan aspek hukum yang ruang lingkupnya meliputi
setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang
menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat online
dan memasuki dunia cyber atau maya. Cyber
Law sendiri merupakan istilah yang berasal dari Cyberspace Law. Cyber law menjadi sangat penting, karena nyaris
tidak ada lagi segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh keajaiban teknologi dewasa
ini dan diperlukan sebuah perangkat aturan main didalamnya (Virtual World). Pembentukan Cyber Law tidak lepas dari sinergi pembuat
kebijakan cyber law (pemerintah) dan
pengguna dunia cyber dalam kaidah memenuhi etika dan kesepakatan bersama. Agar
pembentukan perangkat perundangan tentang teknologi informasi mampu mengarahkan
segala aktivitas dan transaksi didunia cyber sesuai dengan standar etik dan
hukum yang disepakati, maka proses pembuatannya diupayakan dengan cara menetapkan
prinsip – prinsip dan pengembangan teknologi informasi yaitu antara lain :
a. Melibatkan unsur yang terkait
(pemerintah, swasta, profesional)
b. Menggunakan pendekatan moderat
untuk mensintesiskan prinsip
c. Memperhatikan keunikan dari dunia maya
d.Mendorong adanya kerjasama internasional
mengingat sifat internet yang global
e. Menempatkan sektor swasta sebagai
leader dalam persoalan yang menyangkut industri dan perdagangan.
f. Pemerintah harus mengambil peran
dan tanggung jawab yang jelas untuk persoalan yang menyangkut kepentingan
publik
g. Aturan hukum yang akan dibentuk
tidak bersifat restriktif melainkan harus direktif dan futuristik
h. Melakukan
pengkajian terhadap perundangan nasional yang memiliki kaitan langsung maupun
tidak langsung dengan munculnya persoalan hukum akibat transaksi di internet seperti
: UU hak cipta, UU merk, UU perlindungan konsumen, UU Penyiaran dan
Telekomunikasi, UU Perseroan Terbatas, UU Penanaman Modal Asing, UU Perpajakan,
Hukum Kontrak, Hukum Pidana dll.
Berdasarkan konsep cyber law di atas, penegakan hukum
terkait Hak Kekayaan Intelektual dan Hak Cipta mebutuhkan kerjasama yang
berkelanjutan antara unsur-unsur yang terkait. Dalam masalah ini, pihak
Microsoft sebagai produsen software yang
produknya banyak mengalami pembajakan, merupakan leader dalam upaya pemberantasan software bajakan di Indonesia, serta mengajak Pemerintah Indonesia
untuk melakukan penegakan hukum terkait masalah pelanggaran HaKI.
2. Kerjasama
Kerjasama dapat berlangsung dalam
berbagai konteks yang berbeda kebanyakan hubungan dan interaksi yang berbentuk
kerjasama langsung di antara dua pemerintah yang memiliki kepentingan
atau menghadapi masalah serupa secara bersamaan. Misalnya Indonesia dan
Australia dalam setiap tahun melakukan perundingan mengenai persetujuan dagang,
keamanan. Bentuk kerjasama lainnya dilakukan antara negar yang bernaung dalam
organisasi dan kelambagaan internasional. Beberapa Organisasi Internasional
seperti inisiatif Forestry Eight menerapkan bahwa kerjasama
yang berlangsung di antara negara anggota organisasi tersebut di lakukan
atas dasar pengakuan kedaulatan nasional masing-masing negara. Organisasi
internasional tersebut tidak dapat bertindak tanpa persetujuan pihak yang
terlibat dalam suatu masalah, dan persetujuan untuk melakukan kerjasama biasanya
dibuat berdasarkan penyesuaian terhadap negara yang paling kecil tingkatannya
untuk bersikap kooperatif.
Mengenai kerjasama internasional
Dr. Budiono membaginya kedalam empat bentuk, yakni :
a. Kerjasama Global
Adanya
hasrat yang kuat dari berbagai bangsa di dunia untuk bersatu dalam suatu
wadah yang mampu mempersatukan cita-cita bersama merupakan dasar utama bagi
kerjasama global. Sejarah kerjasama global dapat di telusuri kembali mulai dari
terbentuknya kerjasama multilateral.
b. Kerjasama Regional
Kerjasama
regional merupakan kerjasama antar negara yang secara geografis letaknya
berdekatan. Kerjasama tersebut biasa berada dalam bidang pertahanan, hukum,
kebudayaan dan sebagainnya. Lebih lanjut menurut Dr.Budiono, organisasi
kerjasama regional dewasa ini merupakan masalah yang amat luas dan rumit.
Adapun yang menentukan dalam kerjasama regional selain kedekatan geografis,
kesamaan, pandangan bidang politik dan kebudayaan maupun perbedaan struktur
produktifitas ekonomi juga ikut menentukan pula apakah kerjasama tersebut dapat
di wujudkan. Kerjasama regional merupakan salah satu alternative yang dapat di
pergunakan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kebodohan.
c. Kerjasama Fungsional
Kerjasama
fungsional permasalahan maupun metode kerjasamanya menjadi semakin kompleks di
sebabkan oleh semakin banyaknnya berbagai lembaga kerjasama yang ada. Walaupun
terdapat kompleksitas dan banyak permasalahan yang dihadapi dalam kerjasama
fungsional baik di bidang ekonomi maupun sosial, untuk pemecahannya di perlukan
kesepakatan dan keputusan politik. Disini terlihat bahwa kerjasama fungsional
tidak bias di lepaskan dari power. Kerjasama fungsional tidaklah berjalan mulus
sebagaimana di harapkan. Sebagai akibat dari adanya kekuatan atau kelemahan
yang spesifik pada beberapa negara maka persaingan tidak dapat dicegah yang
kemudian menghasilkan apa yang di sebut oleh para ahli ekonomi internasional
sebagai kerjasama yang kompetitif yang merupakan lawan dari kerjasama yang
komplementer.
d. Kerjasama Ideologi
Dalam
hal perjuangan atau kerjasama ideologi batas-batas teorial tidak relevan.
Berbagai kelompok kepentingan berusaha mencapai tujuannya dengan memanfaatkan
berbagai kemungkinan yang terbuka diforum global.
Kerjasama yang terjalin antara Microsoft Corp dengan pemerintah Indonesia
dalam MoU tentang pelegalan software ini
termasuk dalam kerjasama global. Dalam melakukan kerjasama global,
sekurang-kurangnya harus dimiliki 2 syarat utama. Pertama, adanya keharusan
untuk menghargai kepentingan nasional masing masing negara anggota yang
terlibat. Kedua, adanya keputusan bersama dalam mengatasi persoalan yang
timbul. Untuk mencapai kepentingan bersama diperlukan komunikasi dan konsultasi
yang baik. Dengan adanya kerjasama ini, diharapkan memberikan
keuntungan bagi kedua belah pihak, dimana jika tujuan dari kerjasama ini
tercapai, maka citra Indonesia di dunia internasional akan menjadi baik dalam
hal penegakan Hak Kekayaan Intelektual.
Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif,
yaitu menggambarkan bagaimana implementasi
dari MoU antara Microsoft Corp. dengan
pemerintah Indonesia dalam penegakan hukum tentang Hak Kekayaan Intelektual dan
perkembangan Teknologi Informasi di Indonesia.
Pembahasan
Indonesia
sebagai negara kepulauan, memiliki sekitar 17 ribu lebih pulau (6 ribu pulau
berpenduduk) yang tersebar dalam area geografis 1.919.440 km2. di satu sisi
kondisi ini merupakan suatu keuntungan yang besar bagi bangsa kita karena
memiliki sumber daya yang besar, baik secara demografis maupun geografis.
Jumlah pulau yang tersebar begitu banyak justru menjadi hambatan dalam proses
pembangunan dan pengembangan TIK. Aspek tingginya biaya menjadi salah satu
faktor penting sulitnya pembangunan dan pengembangan TIK hingga ke pelosok negeri,
sehingga fokus pembangunan lebih banyak dititikberatkan pada wilayah-wilayah
yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi seperti pulau Jawa dan sebagian
Sumatra.
Selain itu, perkembangan pembangunan
infrastruktur telekomunikasi di Indonesia masih belum memadai. Jumlah sambungan
telepon tetap saat ini baru 8,7 juta atau dengan tingkat teledensitas kurang
dari 4 persen. Sementara pemerintah menargetkan jumlah sambungan telepon per
100 penduduk sebesar 13% pada tahun 2009. Hal itu berkebalikan dengan penetrasi
telepon seluler yang telah mencapai 22,8%. Sampai saat ini terdapat sekitar 43
ribu desa atau 65% desa yang belum terjangkau oleh jaringan telepon.
Presentase penetrasi internet baru
mencapai 8,7% atau sekitar 20 juta pengguna, dan jumlah warnet baru mencapai
angka 7.602 dengan 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah seluruh pengguna
internet di Indonesia masih didominasi oleh daerah Jakarta dan sekitarnya. Yang
memprihatinkan lagi adalah penetrasi personal computer (PC) baru mencapai 6,5
juta unit saja, dengan penjualan PC tahun 2007 diperkirakan mencapai 1.257.531
unit. Hal itu diperparah dengan penggunaan PC dan internet lebih banyak di
perkantoran daripada di rumah (home user) dengan perbandingan 5:1. Investasi di
sektor telekomunikasi di Indonesia berkisar pada Rp 50 triliun/tahun dimana
industri dan jasa domestik hanya berkontribusi sebesar 2%. Di sektor
sumber daya manusia, jumlah perguruan tinggi (baik negeri maupun swasta) yang
melaksanakan program informatika/komputer berjumlah 476 perguruan tinggi, bidang
komunikasi berjumlah 136 perguruan tinggi, dengan lulusan per tahunnya sebanyak
+ 25.000 orang, dimana hal ini masih jauh dari kebutuhan secara nasional. Kondisi ini didukung
oleh rata-rata partisipasi masyarakat dalam mengikuti pendidikan yang masih
rendah. Terutama untuk 7-12 tahun dan 13-15 tahun hanya mencapai angka 95,26%
dan 82,09% bahkan untuk tingkat perguruan tinggi hanya mencapai angka 13%. Dari aspek hukum,
Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang komprehensif yang mengatur
keberadaan TIK serta mengendalikan penggunaan TIK dalam koridor yang bisa
dipertanggungjawabkan. Saat ini, RUU Informasi dan Transaksi Elektronik masih
dalam tahap pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya akan
disahkan menjadi Undang-Undang.
Selain itu, ada sejumlah masalah yang
masih mengganjal dalam mengembangkan TIK di Indonesia. Tetapi yang paling
menonjol adalah banyaknya kegiatan atau program yang terkait dengan TIK yang
tersebar di berbagai instansi pemerintah sehingga tidak adanya perencanaan yang
sinergis dalam mendorong terwujudnya masyarakat informasi. Namun demikian yang
terjadi adalah kurangnya koordinasi yang efektif di antara instansi pemerintah
dalam mengembangkan serta mengarahkan pembangunan bidang TIK di Indonesia. Oleh
karena itu diperlukan konsolidasi nasional dalam menentukan arah pembangunan
TIK serta langkah-langkah strategis yang diperlukan untuk mewujudkan masyarakat
berbasis ilmu pengetahuan. Perkembangan TIK
yang sangat pesat di Indonesia telah mendorong meningkatnya juga SDM (sumber
daya manusia) dari masyarakat Indonesia itu terkait tentang masalah teknologi. Salah satu contoh perkembangan teknologi saat
ini adalah software komputer yang dapat menunjang
kecanggihan yang dimiliki oleh alat elektronik tersebut.
Beberapa peneliti telah melakukan penelitian
dengan cara mengembangkan atau menciptakan software-software baru. Disinilah letak
permasalahan terjadi. Banyak pengguna komputer melakukan pembajakan terhadap software-software tersebut. Pembajakan ini tidak hanya
dilakukan oleh individu-individu saja, tetapi juga dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan yang dikatakan cukup besar. Pembajakan software adalah setiap bentuk perbanyak
atau pemakaian software tanpa ijin
atau di luar dari apa yang telah diatur oleh Undang-Undang Hak Cipta dan
perjanjian lisensi. Beredarnya software bajakan menimbulkan kerugian yang
sangat besar. Menurut laporan Software and Information Industry Association (SIIA), kerugian yang diakibatkan
pembajakan software selama lima tahun (1994-1999)
mencapai hampir 60 triliun dollar. Kerugian akibat pembajakan terbesar terjadi
di Amerika dan Kanada, yaitu mencapai 3.6 milyar dollar atau sekitar 26% dari
total kerugian di seluruh dunia.
Di Indonesia sendiri, menurut data Business Software Alliances (BSA), pada tahun 2002 sebanyak 90% software yang digunakan merupakan software ilegal. Statistik ini meningkat
dibandingkan pada tahun 2001, yang mencapai angka 88%. Statistik ini sekaligus
menempatkan Indonesia pada daftar negara yang harus diawasi dalam hal
pembajakan software.
Namun perlu dicatat di sini, meskipun dari sisi persentase tingkat pembajakan
di Indonesia besar, misal pada tahun 1999 sebesar 85%, namun dari sisi besar
kerugian hanya sebesar 42.106 dollar. Angka ini jika dibandingkan dengan kerugian
pada tahun yang sama di Amerika dan Kanada yang sebesar 3.631.212 dollar, hanya
sebesar 1,1%. Sebuah studi terbaru
mengungkapkan bahwa peringkat pembajakan piranti lunak di Indonesia menurun
menjadi 85 persen di tahun 2006. Namun kerugian dari pembajakan telah meningkat
dari USD 280 juta pada tahun 2005 menjadi USD350 juta tahun lalu.
Di seluruh dunia, 35% piranti lunak yang terinstal
pada komputer pribadi (PC) pada tahun 2006 didapatkan secara illegal, dengan
jumlah kerugian global mencapai hampir USD40 miliar akibat pembajakan piranti
lunak. Kemajuan telah terlihat di sejumlah pasar berkembang terutama sekali
China, di mana tingkat pembajakan turun 10% dalam tiga tahun, dan di Rusia,
pembajakan turun 7%. Kerugian yang sangat signifikan ini akan berdampak negatif terhadap
aspek tenaga kerja, pendapatan dan sumber daya keuangan di industri Teknologi
Informasi yang tersedia untuk inovasi masa depan dan pengembangan
teknologi-teknologi baru. Di seluruh dunia, untuk setiap dua dollar piranti lunak yang dibeli
secara legal, satu dollar didapatkan secara ilegal. Kerugian global meningkat
pada tahun 2006 lebih dari USD5 miliar (15%) dibandingkan tahun sebelumnya.
Di industri software ini, Microsoft telah menjelma
sebagai sebuah kekuatan yang luar biasa. Hal tersebut tidak hanya di Indonesia,
tetapi juga di berbagai belahan dunia lainnya. Ada dua software utama
Microsot yang banyak digunakan aplikasinya di seluruh dunia yakni Microsoft windows (operating system)
dan Microsoft office (aplikasi
perkantoran). Di Indonesia keduanya menjadi penguasa pasar dengan penguasaan di
atas 90%. Sesungguhnya produk Microsoft sendiri tidak hanya terbatas pada dua
aplikasi tersebut, tetapi juga aplikasi yang lainnya seperti terlihat dalam
tabel 1 di bawah ini. Dalam beberapa aplikasi, produk Microsoft tidak sehebat Microsoft office dan windows, misalnya untuk server operating
system di Indonesia, Microsoft Indonesia mengakui menguasai 50% pangsa
pasar.
Di sisi lain seiring perkembangan industri komunikasi dan
informasi, Microsoft juga menjadi pemasok beberapa aplikasi lainnya seperti di
telepon seluler. Misalnya untuk telepon seluler Microsoft mengembangkan operating
system. Sayangnya di area ini Microsoft tidak seberhasil di operating
system (OS) untuk komputer. Penguasa OS telepon seluler dunia saat ini
adalah Symbian yang tertanam di 51,7 juta unit smartphone di seluruh
dunia, atau menguasai 72,5% pangsa pasar global smartphone selama 2006.
OS Linux menduduki posisi kedua dengan pangsa pasar 16,9% dan ketiga Microsoft
4,6%. Tantangan bagi penguasa pasar
seperti Microsoft di operating system dan office system,
terus bermunculan. Salah satu penantang yang cukup berkembang pesat adalah
aplikasi-aplikasi berbasis open source. Aplikasi berbasis open source
memiliki keunggulan tersendiri, karena
karakteristiknya yang terbuka source codenya, sementara Microsoft tidak.
Pembajakan
tidak hanya merugikan perusahaan software lokal, tapi juga merugikan Negara.
Perusahaan software rugi karena produk orisinilnya yang harganya jutaan
rupiah harus bersaing dengan produk bajakan yang harganya hanya puluhan ribu
rupiah. Negara juga dirugikan, karena software bajakan itu sudah pasti tidak
bayar pajak. Menurut data dari studi yang dilakukan oleh BSA (Business Software
Alliance) bahwa nilai kerugian yang ditimbulkan akibat pembajakan piranti
lunak (khusus untuk kasus di Indonesia) sekitar 197 juta dollar AS untuk semua
perusahaan.
Meski
Microsoft sendiri tidak menghitung langsung, tetapi tetap saja merasa
dirugikan. Artinya, ada opportunity yang dihilangkan akibat
tindakan yang dilakukan si pembajak. Kalau kita menggunakan data BSA, bahwa 97
persen piranti lunak di Indonesia adalah bajakan, berarti porsi kita cuma tiga
persen, dan 97 persennya lainnya masuk ke kantong orang (pembajak). Dari proses
wawancara lebih lanjut akhirnya diketahui bahwa salah satu faktor utama dari
maraknya pembajakan software yaitu karena persepsi yang salah (terlepas dari
niat awal memang membajak).
Intinya,
publik (yang murni tidak tahu) beranggapan bahwa jika seseorang membeli
software itu menjadi miliknya. Padahal membeli software itu adalah membeli
lisensi hak untuk menggunakan. Jadi, harus dibedakan antara membeli lisensi
dengan membeli produk yang langsung bisa dikonotasikan sebagai milik hak
pribadi. Prestasi minim ini tentu menjadi hal yang harus diperhatikan oleh
pemerintah. Pasalnya, kalau dirunut ke belakang, sederet program untuk
memasyarakatkan penggunaan software legal di Tanah Air telah digalakkan. Mulai
dari sosialisasi hingga rentetan razia oleh pihak kepolisian. Bahkan,
pemerintah membentuk tim khusus untuk menangani pelanggaran terkait HaKI ini
lewat kelompok kerja yang diberi nama Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran
Hak atas Kekayaan Intelektual (Timnas HaKI).
Tim tersebut
bisa dikatakan sebagai tim elit pemerintah, sebab jajarannya diisi oleh deretan
menteri dan pejabat setingkat menteri. Sehingga di awal pembentukannya, tim
yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden no 4 tahun 2006 itu diharapkan
dapat menjadi penyelamat muka Indonesia di mata dunia yang begitu concern terhadap
permasalahan HaKI. Namun, setelah sukses meninggalkan presentase pembajakan 87%
menjadi 84% di 2007, serta vonis kelam Priority Watch List di
2006, Indonesia kembali memperlihatkan kemunduran berdasarkan penelitian terbaru.
Kekecewaannya pun berlipat, kembali ke daftar Priority Watch List USTR
dan presentase pembajakan mengalami kenaikan. Dalam menyikapi permasalahan pembajakan software
di Indonesia, Pemerintah Indonesia, melalui Depkominfo (Departemen
Komunikasi dan Informasi) telah mengerahkan segala upaya untuk mengurangi
tingkat pembajakan software komputer,
baik melalui kerjasama internasional maupun lokal. Salah satunya adalah dengan
melakukan kerjasama yang diawali dengan disepakatinya MoU (Memorandum of Understanding) dengan Microsoft Corp. yang diwakilkan
oleh anak perusahaannya di Indonesia yaitu PT. Microsoft Indonesia. Selain itu,
kerjasama ini bertujuan untuk memajukan sektor ICT dan menjadikan Indonesia
sebagai negara dengan perekonomian berbasis pengetahuan (knowledged based economy).
MoU ini sendiri dibuat sebagai tindak lanjut dari
pertemuan antara Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dengan Bill Gates (Chairman
of Microsoft Corporation) pada tanggal 27 Mei 2005. MoU ini ditandatangani oleh Menkominfo Sofyan
A. Djalil yang dalam hal ini mewakili Pemerintah Indonesia dengan Chris
Atkinson dari PT. Microsoft Indonesia selaku anak perusahaan Microsoft
Corporation. Hal yang melatarbelakangi MoU ini antara lain
adalah bahwa Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya ICT, maka oleh karenanya
diperlukan suatu implementasi dan penegakan hukum terkait dengan Hak Kekayaan
Intelektual dan Pemerintah berkeinginan untuk mengambil langkah-langkah yang
menitikberatkan pada pentingnya penggunaan software berlisensi resmi. Pemerintah
Indonesia telah mencapai kesepahaman dengan Microsoft yang memungkinkan
komputer desktop di seluruh instansi Pemerintah akan mendapat lisensi
resmi.
Ada dua tujuan utama dari MoU ini, yaitu pertama,
pemberian lisensi dan penggunaan Microsoft Windows dan Microsoft Office di
seluruh kementerian, departemen dan badan pemerintahan Indonesia. Kedua, mendukung berbagai proyek ICT yang ditandai dengan pembentukan Dewan TIK Nasional dan
mendukung pertumbuhan industri ICT di
Indonesia. Pemberian lisensi untuk Microsft Windows dan Microsoft Office
sebagaimana dimaksud akan mengacu pada kemampuan pendanaan dari Pemerintah
Indonesia untuk memenuhi kewajiban pembayaran serta memenuhi ketentuan dalam
Keppres No. 80/2003 terkait dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Detail
kesepakatan termuat yang intinya lisensi yang akan dibeli adalah sebanyak
35.496 Microsoft Wndows dan 117.480 Microsoft Office. Sebagai konsekuensinya Pemerintah Indonesia
mendapatkan hibah 266.220 lisensi Microsoft Windows dan 266.220 Microsoft
Office. Jumlah komputer pemerintah yang menggunakan software ilegal berdasarkan dari data yang dipublikasikan Bank
Dunia, IDC dan Intel Corporation
sebanyak 500.000 unit komputer. Pemerintah akan mengadakan sensus pada tahun
pertama perjanjian ini, dan angka yang tercantum tersebut akan direvisi sesuai
sensus tersebut.
Mencermati
gambaran MoU tersebut di atas, maka sangat jelas bahwa permasalahan utama
yang akan diselesaikan melalui MoU tersebut adalah masalah banyaknya software
Microsoft yang terpasang di instansi Pemerintah yang tidak memiliki lisensi sebagaimana seharusnya. Langkah penyelesaian adalah
dengan melakukan proses pembelian sejumlah software Microsoft.
Ada dua poin kesepakatan yang telah disetujui oleh pihak
pemerintah Indonesia dengan pihak Microsoft Corp, antara lain legalisasi software komputer milik pemerintah
dengan pembelian lisensi Microsoft Windows dan Microsoft Office yang akan jatuh
tempo pada tanggal 30 Juni 2007 dan pengembangan proyek-proyek dalam bidang ICT
di Indonesia. Akan tetapi, dengan adanya berbagai faktor dan desakan dari
berbagai pihak di dalam negeri, kesepakatan dalam hal pembelian lisensi ini
pada akhirnya dibatalkan. Salah satu faktornya yaitu, pemerintah kekurangan
dana dalam melakukan sensus komputer di instansi pemerintah di seluruh
indonesia. Dimana pemerintah pusat hanya memiliki dana sebesar Rp.1,5 miliar,
sedangkan dana yang dibutuhkan sebesar Rp.30 miliar.
Selain itu, banyaknya pihak yang menyerukan pemerintah
untuk lebih menggunakan teknologi alternatif open source seperti open
office, yang bisa diperoleh dengan gratis. Serta potensi berbenturan dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha, karena dalam MoU,
tidak diadakan proses tender dari pihak selain Microsoft. Terkait batalnya
kesepakatan dalam hal legalisasi software
dalam MoU ini, pihak Depkominfo menyatakan akan tetap konsisten dalam
menggunakan software legal di seluruh
instansi pemerintah, namun legalisasi software
tersebut akan membutuhkan proses yang bertahap dan juga dipertimbangkannya
untuk penggunaan open source.
Hal ini membuat Microsoft Corp dengan pemerintah
Indonesia lebih memfokuskan kerjasama dalam pengembangan proyek-proyek dalam
bidang ICT atau biasa disebut Flagship
Projects. Proyek-proyek tersebut antara lain :
1. National
Single Window
Salah satu program strategis Dewan Teknologi
Informasi dan Komunikasi Nasional atau DeTIKNas ini merupakan suatu sistem yang
mampu melakukan pengajuan data dan informasi, single submission, single processing data dan informasi, serta single decision untuk melakukan suatu release barang. Penerapan NSW
dilatarbelakangi oleh adanya kesepakatan antara Indonesia dengan pihak
internasional atau kawasan regional ASEAN. Selain itu juga karena kondisi
kinerja pelayanan lalu-lintas barang ekspor-impor seperti lead-time (release time)
atau waktu penanganan barang impor yang masih terlalu lama. Serta masih
banyaknya Point of Services
(Titik-titik Layanan) dalam kegiatan ekspor-impor mengakibatkan adanya
biaya-biaya atau high cost economy.
Disamping itu juga dilandasi karena kepentingan nasional untuk mengontrol
lalu-lintas barang negara, terutama terkait dengan isu terorisme, trans-national crime, drug trafficking, illegal activity, intellectual
property right, dan perlindungan konsumen. Dalam Proyek ini, Microsoft
mendukung DeTIKNas dengan menawarkan bentuk e-forms
generator infoPath, yang sudah
digunakan dalam usaha pembangunan bersama dengan PBB, untuk membuat 12 UNeDocs.
UNeDocs sendiri merupakan dokumen elektronik yang dijadikan standar untuk
kemudian diadopsi oleh ASEAN Single
Window Project. Dimana InfoPath ini
merupakan salah satu produk yang terdapat didalam Office 2003, setiap pemilik lisensi atau pengguna MS Office 2003 dapat berpartisipasi
didalam National Single Window Project dan
mengirimkan formulir elektronik kepada penyedia layanan atau langsung kepada
kepabeanan setempat, melalui koneksi yang terjangkau.
2. e-Education
Dalam bidang pendidikan, Microsoft mendirikan
Microsoft Innovation Center (MIC) di
Surabaya pada tanggal 18 Maret 2006. Ini adalah MIC pertama di Indonesia, dan
ditujukan untuk memajukan Teknologi Informasi (TI) di Indonesia. MIC merupakan
pusat pengembangan inovasi dalam pengembangan teknologi dan solusi software yang melibatkan kombinasi dari
proyek pemerintah, akademisi dan pelaku industri. MIC digelar secara mendunia,
yang sekaligus sebagai kreasi dari konsolidasi brand, untuk memberikan nilai tambah bagi upaya-upaya pengembangan software lokal di masing-masing negara.
Akan ada total 70 MIC yang tersebar di
seluruh dunia. Untuk di Indonesia, Microsoft menghadirkan MIC di Institut
Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya. Pada kerjasama ini, Microsoft
Indonesia menyediakan infrastruktur berupa dukungan software secara penuh, tenaga pengajar, serta buku-buku penunjang
proses pembelajaran dalam program MIC. Program MIC ini bisa diikuti oleh
mahasiswa tingkat akhir, developer dan para peneliti. Ada tiga program yang
ditawarkan didalam MIC, yaitu pengembangan modal dasar intelektual,
pengembangan kerjasama industri dengan program sertifikasi, serta pengembangan
inovasi. Untuk program pengembangan inovasi, program tersebut meliputi
pengembangan inovasi arsitektur 64-bit, pengembangan Windows Vista yang akan
diluncurkan akhir 2006, serta desain aplikasi yang inovatif. Inovasi dan hasil
riset yang akan dihasilkan proyek MIC, nantinya akan dilindungi dengan Capital Intellectual Copyright. Hal ini
bertujuan agar pencipta inovasi tersebut bisa lebih leluasa dalam mengarahkan
hasil inovasinya.
3. Bina-Independent
Software Vendor (ISV) Program
Program Bina-ISV pertama kali diperkenalkan
oleh PT. Microsoft Indonesia di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tanggal
30 Agustus 2005. Program ini merupakan salah satu bagian dari fokus Microsoft
untuk mengembangkan perekonomian piranti lunak di Indonesia yang menjembatani
para Pengembang Piranti Lunak atau Independent
Software Vendor (ISV) ke industri. Bina ISV adalah ekosistem yang terdiri
dari pengembang piranti lunak lokal, pihak korporasi, pemerintah, komunitas
pengembang dan lembaga pendidikan tinggi.
Peluncuran program ini didukung oleh Kementrian Riset dan
Teknologi Republik Indonesia, dan Departemen Komunikasi dan Informatika
Republik Indonesia. PT. Astra International Tbk (Astra) juga turut mendukung
program ini sebagai wakil pihak korporasi dan Institut Teknologi Bandung
sebagai perguruan tinggi yang akan menghasilkan sumber daya untuk diserap di
ISV. Tujuan dari program ini adalah untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi
saat ini dimana para prinsipal menjalin kemitraan secara ekslusif bersama
beberapa ISV yang telah mapan dan belum merangkul seluruh lapisan pengembang
yang ada. Sistem Gugus Korporat memiliki peran yang sangat penting dalam
program ini, karena disinilah tujuan akhir dari proses pembinaan yang telah
dilakukan dan menjadi motor bagi kelanjutan bisnis ISV selanjutnya. Untuk itu
dibentuk Sistem Gugus, dimana pihak korporasi berperan sebagai induk yang
membina beberapa pengembang baik kelompok maupun individu sebagai Anak
Asuh-nya. Sebagai induk, Astra akan memberikan pengetahuan industri,
keterampilan teknis dan bisnis, termasuk di dalamnya keahlian negosiasi,
penyusunan kontrak kerjasama, pengelolaan layanan usaha dan lainnya kepada ISV.
Melalui program ini, Anak Asuh dapat mengembangkan usahanya dan secara tidak
langsung ISV akan dapat menyerap kebutuhan SDM di bidang Teknologi Informasi.
Pada tanggal 3-5 Desember 2007, Microsoft memperkenalkan
beberapa ISV dari program Bina-ISV, yakni Rent@soft merupakan sebuah ISV yang
bermarkas di Semarang dan fokus di pengembangan piranti lunak untuk Rumah Sakit
dan Bank, DyCode merupakan ISV yang berbasis di Bandung dan mengembangkan
piranti lunak Port Management System yang digunakan oleh pelabuhan swasta
terbesar di Indonesia. Mereka adalah perusahaan piranti lunak lokal yang mulai
menunjukkan prospek yang menjanjikan.
Dengan jalannya tiga program tersebut, Pemerintah
Indonesia optimis bahwa kondisi Teknologi Informasi di Indonesia akan terus
berkembang, yang ditandai dengan mulai banyaknya Independent Software Vendore (ISV) yang sudah direkrut oleh
perusahaan-perusahaan di Indonesia.Selain tiga program yang telah dicanangkan
diatas, Microsoft berjanji akan terus melakukan pengembangan dan dukungannya
terhadap proyek-proyek dalam bidang ICT, serta terus mendukung perkembangan Independent Software Vendor (ISV) yang
berada diseluruh Indonesia, baik melalui kerjasama dengan pemerintah, maupun
dengan organisasi non-pemerintah.
Selain itu, dengan meningkatnya pemahaman tentang
permasalahan tentang Hak cipta maupun Hak atas Kekayaan Intelektual, yang
dipraktekkan oleh Microsoft melalui program-program di dalam MoU ini,
diharapkan dapat menurunkan tingkat pembajakan maupun pelanggaran terhadap
HaKI.
Hasil Penelitian
1. Kondisi Pembajakan Software di
Indonesia pada Tahun 2008-2010
Menurut data yang dikeluarkan oleh BSA dan IDC, tingkat
pembajakan software di Indonesia pada
tahun mengalami peningkatan dari tahun 2008 sebesar 85%, tahun 2009 sebesar
86%, dan tahun 2010 sebesar 87%. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan utama dilakukannya
MoU antara Depkominfo dengan Microsoft tidak tercapai, dikarenakan persentase
tingkat pembajakan yang tidak sesuai dengan target pemerintah Indonesia, yaitu
sebesar 50% hingga 70% pada tahun 2010.
Hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat ketergantungan masyarakat Indonesia,
khususnya instansi pemerintah Indonesia yang masih tinggi terhadap produk software asing, dibandingkan memakai
produk Open Source Software (OSS).
2. Peningkatan Jumlah ISV di Indonesia
Berdasarkan Data yang dikeluarkan oleh ISV binaan Microsoft, diperkirakan
terdapat 500-an ISV lokal di Indonesia, 251 di antaranya terdapat di daerah
Jakarta. Hal yang sama juga dikemukakan oleh IDC, bahwa jumlah software house di Indonesia naik menjadi
500 unit pada tahun 2008, dengan jumlah pengembang profesional sebanyak 71.600
orang. Meningkat dari jumlah 250 unit dari tahun 2006. Laporan IDC juga
mencatat bahwa dalam 5 tahun (2004-2009), sektor IT di Indonesia didominasi
oleh IT Services. Pertumbuhan ini
dapat memberikan 81.000 lapangan pekerjaan dan menumbuhkan 1.100 perusahaan IT
baru yang dapat memberikan penghasilan pajak sebesar 1,1 miliar dolar AS dan
berkontribusi sebesar 12 miliar dolar AS terhadap GDP. Dalam periode tersebut software spending naik hingga mencapai
11,4% dari total IT spending.,
khususnya di market vertikal. Sebanyak 29,9% dari seluruh pekerja IT di
Indonesia akan terlibat dalam pengembangan, pendistribusian atau layanan
implementasi software.
Kesimpulan
Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah RI dengan
Microsoft, menimbulkan pro dan kontra di kalangan pihak tertentu dan masyarakat
umum. Banyak sekali sangkaan-sangkan di balik adanya MoU tersebut. Mulai dari
kepentingan ekonomi, politik internasional, dan lain sebagainya. Pemerintah pun
mempunyai alibi sendiri mengenai MoU tersebut, antara lain sebagai bagian dari
perlindungan hak cipta. Muncul opini Open
Source Software (OSS) yang
jelas-jelas tidak berbayar, dapat dikembangkan sesuai kebutuhan dengan kode
sumber yang terbuka, dan mampu meningkatkan potensi sumber daya manusia secara
nasional.
Berdasarkan
konsideran MoU maka tergambar bahwa Pemerintah ingin menjadi pionir (pendahulu)
dan pemberi contoh bagi kalangan industri di Indonesia mengenai pentingnya
penggunaan software lisensi asli. Selanjutnya secara logis dapat disimpulkan
jika kemudian Pemerintah benar-benar membeli lisensi perangkat lunak Microsoft,
Pemerintah artinya berkeinginan kalangan industri mengikuti langkahnya tersebut
atau setidak-tidaknya mendorong pembelian lisensi perangkat lunak Microsoft. Kebijakan
Pemerintah ini justru bertentangan dengan apa yang selama ini diserukan oleh
Pemerintah sendiri seperti berbagai kampanye dan Deklarasi IGOS (Indonesian Go Open Sources) oleh 5
(lima) menteri, maupun usaha Kominfo untuk menjadi contoh bagi instansi lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika No.
05/SE/M.KOMINFO/10/2005 tentang Pemakaian dan Pemanfaatan Penggunaan Piranti
Lunak Legal di Lingkungan Instansi Pemerintah.
Dapat
dikatakan, bahwa kesepakatan yang terjadi antara Microsoft Corp. dengan
pemerintah Indonesia ini tidak lebih dari kesepakatan dalam bidang ekonomi,
dikarenakan kesepakatan ini bersifat tertutup dan hanya dengan satu perusahaan
vendor saja, yaitu Microsoft. Pemerintah Indonesia juga mengatakan bahwa adanya
MoU ini bertujuan untuk mengurangi pembajakan software di Indonesia dan menaikkan citra Indonesia dalam
perdagangan internasional, walaupun tidak berpengaruh banyak terhadap kondisi
pembajakan software di Indonesia,
dikarenakan persentase tingkat pembajakan software
di Indonesia pada tahun 2008 hingga 2010 masih cenderung meningkat. Hal ini
berbanding terbalik dengan upaya yang dilakukan, baik Microsoft maupun
pemerintah dalam memajukan kondisi Teknologi dan Informasi, khususnya di bidang
software yang telah memperlihatkan
hasil yang cukup baik. Hal ini terbukti dengan meningkatnya pengembang software di Indonesia pada tahun 2008.
Dan merupakan salah satu indikator yang menunjukkan pertumbuhan industri
Teknologi Informasi dan Komunikasi di Indonesia.
Saran
1.Seharusnya pemerintah
Indonesia, yang diwakilkan oleh Depkominfo meninjau ulang anggaran terlebih
dahulu terkait pembelian lisensi software
dari Microsoft, dan disesuaikan dengan kemampuan anggaran negara.
2.Seharusnya pemerintah Indonesia
lebih konsisten dalam menerapkan dan menjalankan kebijakan IGOS, karena program
tersebut memiliki keuntungan yang lebih banyak bagi pemerintah Indonesia.
Selain itu juga dapat mendukung ISV di Indonesia, dengan menggunakan dan
mempromosikan produk software local.
3.Pemerintah Indonesia
diharapkan untuk dapat merubah arah kebijakan kepada pemilihan perangkat lunak
yang relatif netral dan tidak membebani keuangan negara seperti dengan lebih mengutamakan pemakaian open source software.
4.Dalam hal upaya mengurangi
pembajakan software, diharapkan
pemerintah lebih menegakkan hukum tentang Hak Kekayaan Intelektual,
mengimplementasikan isi dari perjanjian WIPO dan TRIPs, meningkatkan SDM dalam
bidang teknologi dan Informasi, dan mensosialisasikan tentang penggunaan software berbasis opensource serta menjadi contoh dalam hal penggunaan software legal.
5.Bagi Microsoft, untuk lebih
mempertimbangkan perbedaan harga pemasaran produk-produk software mereka, dan disesuaikan dengan kondisi Indonesia yang masih tergolong negara berkembang. Dan
lebih fokus terhadap upaya-upaya dalam pencegahan pembajakan software diluar lingkup instansi
pemerintah Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ade Maman
Suherman. 2003. Organisasi Internasional &
Integrasi Ekonomi Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Jakarta,
Ghalia Indonesia.
Budiono
Kusumohamidjojo.1987. Hubungan Internasional, Kerangka Analitis, Jakarta: Bina Cipta.
Hinca IP
Panjaitan. et al. 2005.
Membangun Cyber Law Indonesia
yang Demokratis, Jakarta, IMLPC.
Rosenoer, Jonathan. 1997. CyberLaw: The Law of the Internet, New York: Springer-Verlag.
SUMBER LAIN :
“5 Modus
Operandi Pembajakan Software, Beserta Hukumannya”, terdapat di http://tekno.kompas.com/read/2012/02/17/09510410/5.Modus.Operandi.Pembajakan.Software..Beserta.Hukumannya, 22 Maret 2013
“USTR
Special 301 Priority Watch List”, terdapat di http://www.ustr.gov/archive/Document_Library/Reports_Publications/2004/2004_Special_301/Special_301_Priority_Watch_List.html, 20 Maret 2013
“BSA
Piracy Study Standard 2010”, terdapat di http://portal.bsa.org/globalpiracy2010/downloads/study_pdf/2010_BSA_Piracy_Study-Standard.pdf, 11 Maret 2013
“Pengakuan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) di Indonesia”, terdapat di www.dgip.gi.id:8080, 12 Maret 2013
“Index International Property Rights Index (IPRI) 2009”, terdapat di http://www.kedai_kebebasan.org/berita/ekonomi/article.php?id=745, 16 Januari 2013
Microsoft Perkenalkan Program Bina ISV
terdapat di http://inet.detik.com/read/2005/09/15/125044/433510/349/microsoft-perkenalkan-program-bina-isv, 02 Juni 2013
Microsoft Dirikan Pusat Inovasi di
Surabaya terdapat di http://inet.detik.com/read/2006/03/19/143927/561539/319/microsoft-dirikan-pusat-inovasi-di-surabaya, 28 Mei 2013
“Pe
perty