Translate

Minggu, 26 Maret 2017

KERJASAMA MICROSOFT CORP. DENGAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM BIDANG ICT (INFORMATION AND COMMUNICATION TECHNOLOGY) TAHUN 2006





KERJASAMA MICROSOFT CORP. DENGAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM BIDANG ICT (INFORMATION AND COMMUNICATION TECHNOLOGY) TAHUN 2006

Abstract:
This research aims to describe the cooperation undertaken by the Microsoft Corporation and the Government of Indonesia in the field of Information Technology. This type of research is descriptive which describes the collaboration between Microsoft Corporation and the Government of Indonesia agreed through the MoU (Memorandum of Understanding) in advancing information technology and increasing enforcement against violations of Intellectual Property Rights (IPR) in Indonesia. Data presented are the secondary data obtained through literature review and literature such as books, internet, and others. The analysis technique used is qualitative analysis techniques.

The results showed the MoU between Microsoft Corp. with the Indonesian government realized in the form of cooperation in the field of ICT. There are three programs that have been implemented, the National Single Window, Microsoft Innovation Center, and Bina-ISV program. Microsoft
and  Indonesian government was hope with the implementation of the three programs, to develop technology and information in Indonesia. As well as being a solution for the many cases of violations of Intellectual Property Rights.



Pendahuluan
Kemajuan teknologi dan informasi yang sangat pesat, telah mendorong globalisasi Hak atas Kekayaan Intelektual atau yang disebut juga dengan HaKI. Suatu barang atau jasa yang hari ini diproduksi oleh suatu negara, disaat berikutnya telah dapat dihadirkan di negara lain. Kebutuhan untuk melindungi barang atau jasa dari kemungkinan pemalsuan atau persaingan yang tidak wajar juga berarti kebutuhan untuk melindungi HaKI yang digunakan untuk membuat produk yang bersangkutan.
Secara subtantif pengertian HaKI dapat dideskripsikan sebagai “Hak atas Kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia”. Perlindungan  terhadap HaKI itu sendiri menjadi sama pentingnya dengan perlindungan kepentingan hukum dan ekonomi, terutama dalam  pandangan internasional karena selanjutnya pertikaian HaKI sudah tidak lagi menjadi masalah teknis hukum, tetapi juga menyangkut pertikaian bisnis untuk meraih keuntungan.
Salah satu pelanggaran terhadap HaKI yang banyak terjadi yaitu pelanggaran hak cipta pembajakan software. Software adalah perangkat lunak yang diformat dan disimpan secara digital, termasuk program komputer, dokumentasinya, dan berbagai informasi yang bisa dibaca dan ditulis oleh komputer. Dengan kata lain, bagian sistem komputer yang tidak berwujud atau immaterial. Software juga adalah sekumpulan data elektronik yang disimpan oleh komputer, data elektronik yang disimpan dapat berupa program atau instruksi yang akan menjalankan suatu perintah. Dapat dikatakan, bahwa software merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari komputer (hardware). Hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh para cracker (istilah bagi orang yang membajak software) untuk dapat mengeruk keuntungan. Mereka menawarkan software hasil bajakan mereka tanpa harus membayar. Akan tetapi, mereka dengan sengaja memasukkan virus atau malware ke dalam software hasil bajakan mereka.
Keadaan ini menyebabkan Indonesia masuk untuk pertama kalinya dalam daftar Priority Watch List (PWL) pada tahun 2004, yang dipublikasikan oleh Departemen Perdagangan Amerika Serikat (USTR).[2] PWL itu sendiri merupakan laporan yang berisi hasil survei tentang  jumlah kasus pelanggaran HaKI di beberapa negara.
Kebanyakan masyarakat awam yang kurang mengerti tentang teknologi komputer dan perbedaan antara software legal dan ilegal membelinya di toko-toko komputer atau retailer dengan sangat murah dan biasanya memiliki perbedaan harga yang sangat jauh dengan software aslinya. Di Indonesia, keadaan ini menjadi faktor utama yang menyebabkan pembajakan software tumbuh subur di tengah perkembangan teknologi yang sudah semakin maju. Sebagai contoh harga dari lisensi sistem operasi Windows 7 Ultimate asli dijual dengan harga Rp. 1.727.000. versi bajakannya dapat dijual dengan harga Rp. 30.000 saja. Perbedaan harga yang sangat jauh ini membuat masyarakat di negara berkembang, khususnya di Indonesia lebih memilih software versi bajakan dengan harga yang jauh lebih murah dan kualitas yang tidak kalah bagus dengan software aslinya. Dalam kasus ini ada 5 software yang paling banyak dibajak, yaitu produk-produk Microsoft, Adobe, Symantec, Autodesk, dan Corel. Karena produk ini merupakan software yang sering digunakan dalam  menunjang kegiatan dan aktifitas dari konsumen itu sendiri, baik dalam lingkup perkantoran maupun penggunaan secara individu.
 Ada beberapa kasus pelanggaran yang terjadi pada tahun 2001, yaitu pembajakan piranti lunak yang diproduksi oleh Microsoft Corp. yang dilakukan oleh empat gerai komputer di Indonesia, yaitu PT. Panca Putra Komputindo, HJ Komputer, HM Komputer, dan Altec Komputer. Dimana keempat perusahaan ini terbukti telah mendistribusikan dan menyalin secara ilegal produk software Microsoft, yaitu Microsoft Office dan Microsoft Windows di produk-produk komputer yang mereka jual kepada konsumen. Pihak Microsoft kemudian mendapatkan ganti rugi senilai US$ 5,5 juta dari kasus ini.  Di Indonesia sendiri upaya pemerintah dalam mengatasi maraknya pembajakan software sudah cukup serius, yaitu melalui Keppres No.4 Tahun 2006 pemerintah membentuk Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual atau Timnas HKI yang berada dibawah naungan Direktorat Jenderal HKI, dimana salah satu tugasnya yaitu mengkaji dan menetapkan langkah-langkah penyelesaian permasalahan strategis mengenai penanggulangan pelanggaran HKI, termasuk pencegahan dan penegakan hukum di Indonesia Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai yaitu untuk mengetahui dan mendeskripsikan penerapan MoU antara Microsoft Corporation yang diwakilkan oleh PT. Microsoft Indonesia sebagai anak perusahaan dengan pemerintah Indonesia melalui Depkominfo terhadap perkembangan Teknologi Informasi di Indonesia dan terhadap penegakan HKI.

Kerangka Dasar Teori
1. Cyber Law
Cyber Law adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya) yang umumnya diasosiasikan dengan internet. Cyber Law merupakan aspek hukum yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat online dan memasuki dunia cyber atau maya. Cyber Law sendiri merupakan istilah yang berasal dari Cyberspace Law. Cyber law menjadi sangat penting, karena nyaris tidak ada lagi segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh keajaiban teknologi dewasa ini dan diperlukan sebuah perangkat aturan main didalamnya (Virtual World). Pembentukan Cyber Law tidak lepas dari sinergi pembuat kebijakan cyber law (pemerintah) dan pengguna dunia cyber dalam kaidah memenuhi etika dan kesepakatan bersama. Agar pembentukan perangkat perundangan tentang teknologi informasi mampu mengarahkan segala aktivitas dan transaksi didunia cyber sesuai dengan standar etik dan hukum yang disepakati, maka proses pembuatannya diupayakan dengan cara menetapkan prinsip – prinsip dan pengembangan teknologi informasi yaitu antara lain :
a. Melibatkan unsur yang terkait (pemerintah, swasta, profesional)
b. Menggunakan pendekatan moderat untuk mensintesiskan prinsip
c. Memperhatikan keunikan dari dunia maya
d.Mendorong adanya kerjasama internasional mengingat sifat internet yang global
e. Menempatkan sektor swasta sebagai leader dalam persoalan yang menyangkut industri dan perdagangan.
f. Pemerintah harus mengambil peran dan tanggung jawab yang jelas untuk persoalan yang menyangkut kepentingan publik
g. Aturan hukum yang akan dibentuk tidak bersifat restriktif melainkan harus direktif dan futuristik
h. Melakukan pengkajian terhadap perundangan nasional yang memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dengan munculnya persoalan hukum akibat transaksi di internet seperti : UU hak cipta, UU merk, UU perlindungan konsumen, UU Penyiaran dan Telekomunikasi, UU Perseroan Terbatas, UU Penanaman Modal Asing, UU Perpajakan, Hukum Kontrak, Hukum Pidana dll.

Berdasarkan konsep cyber law di atas, penegakan hukum terkait Hak Kekayaan Intelektual dan Hak Cipta mebutuhkan kerjasama yang berkelanjutan antara unsur-unsur yang terkait. Dalam masalah ini, pihak Microsoft sebagai produsen software yang produknya banyak mengalami pembajakan, merupakan leader dalam upaya pemberantasan software bajakan di Indonesia, serta mengajak Pemerintah Indonesia untuk melakukan penegakan hukum terkait masalah pelanggaran HaKI.

2. Kerjasama
Kerjasama dapat berlangsung dalam berbagai konteks yang berbeda kebanyakan hubungan dan interaksi yang berbentuk kerjasama langsung di antara dua pemerintah  yang memiliki kepentingan atau menghadapi masalah serupa secara bersamaan. Misalnya Indonesia dan Australia dalam setiap tahun melakukan perundingan mengenai persetujuan dagang, keamanan. Bentuk kerjasama lainnya dilakukan antara negar yang bernaung dalam organisasi dan kelambagaan internasional. Beberapa Organisasi Internasional seperti inisiatif Forestry Eight menerapkan bahwa kerjasama yang berlangsung di antara  negara anggota organisasi tersebut di lakukan atas dasar pengakuan kedaulatan nasional masing-masing negara. Organisasi internasional tersebut tidak dapat bertindak tanpa persetujuan pihak yang terlibat dalam suatu masalah, dan persetujuan untuk melakukan kerjasama biasanya dibuat berdasarkan penyesuaian terhadap negara yang paling kecil tingkatannya untuk bersikap kooperatif.

Mengenai kerjasama internasional Dr. Budiono membaginya kedalam empat bentuk, yakni :
a. Kerjasama Global
Adanya hasrat yang kuat dari berbagai  bangsa di dunia untuk bersatu dalam suatu wadah yang mampu mempersatukan cita-cita bersama merupakan dasar utama bagi kerjasama global. Sejarah kerjasama global dapat di telusuri kembali mulai dari terbentuknya kerjasama multilateral.
b. Kerjasama Regional
Kerjasama regional merupakan kerjasama antar negara yang secara geografis letaknya berdekatan. Kerjasama tersebut biasa berada dalam bidang pertahanan, hukum, kebudayaan dan sebagainnya. Lebih lanjut menurut Dr.Budiono, organisasi kerjasama regional dewasa ini merupakan masalah yang amat luas dan rumit. Adapun yang menentukan dalam kerjasama regional selain kedekatan geografis, kesamaan, pandangan bidang politik dan kebudayaan maupun perbedaan struktur produktifitas ekonomi juga ikut menentukan pula apakah kerjasama tersebut dapat di wujudkan. Kerjasama regional merupakan salah satu alternative yang dapat di pergunakan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kebodohan.
c. Kerjasama Fungsional
Kerjasama fungsional permasalahan maupun metode kerjasamanya menjadi semakin kompleks di sebabkan oleh semakin banyaknnya berbagai lembaga kerjasama yang ada. Walaupun terdapat kompleksitas dan banyak permasalahan yang dihadapi dalam kerjasama fungsional baik di bidang ekonomi maupun sosial, untuk pemecahannya di perlukan kesepakatan dan keputusan politik. Disini terlihat bahwa kerjasama fungsional tidak bias di lepaskan dari power. Kerjasama fungsional tidaklah berjalan mulus sebagaimana di harapkan. Sebagai akibat dari adanya kekuatan atau kelemahan yang spesifik pada beberapa negara maka persaingan tidak dapat dicegah yang kemudian menghasilkan apa yang di sebut oleh para ahli ekonomi internasional sebagai kerjasama yang kompetitif yang merupakan lawan dari kerjasama yang komplementer.
d. Kerjasama Ideologi
Dalam hal perjuangan atau kerjasama ideologi batas-batas teorial tidak relevan. Berbagai kelompok kepentingan berusaha mencapai tujuannya dengan memanfaatkan berbagai kemungkinan yang terbuka diforum global.
Kerjasama yang terjalin antara Microsoft Corp dengan pemerintah Indonesia dalam MoU tentang pelegalan software ini termasuk dalam kerjasama global. Dalam melakukan kerjasama global, sekurang-kurangnya harus dimiliki 2 syarat utama. Pertama, adanya keharusan untuk menghargai kepentingan nasional masing masing negara anggota yang terlibat. Kedua, adanya keputusan bersama dalam mengatasi persoalan yang timbul. Untuk mencapai kepentingan bersama diperlukan komunikasi dan konsultasi yang baik. Dengan adanya kerjasama ini, diharapkan memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak, dimana jika tujuan dari kerjasama ini tercapai, maka citra Indonesia di dunia internasional akan menjadi baik dalam hal penegakan Hak Kekayaan Intelektual.
Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif, yaitu menggambarkan bagaimana implementasi dari MoU antara Microsoft Corp. dengan pemerintah Indonesia dalam penegakan hukum tentang Hak Kekayaan Intelektual dan perkembangan Teknologi Informasi di Indonesia.

Pembahasan
Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki sekitar 17 ribu lebih pulau (6 ribu pulau berpenduduk) yang tersebar dalam area geografis 1.919.440 km2. di satu sisi kondisi ini merupakan suatu keuntungan yang besar bagi bangsa kita karena memiliki sumber daya yang besar, baik secara demografis maupun geografis. Jumlah pulau yang tersebar begitu banyak justru menjadi hambatan dalam proses pembangunan dan pengembangan TIK. Aspek tingginya biaya menjadi salah satu faktor penting sulitnya pembangunan dan pengembangan TIK hingga ke pelosok negeri, sehingga fokus pembangunan lebih banyak dititikberatkan pada wilayah-wilayah yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi seperti pulau Jawa dan sebagian Sumatra.

Selain itu, perkembangan pembangunan infrastruktur telekomunikasi di Indonesia masih belum memadai. Jumlah sambungan telepon tetap saat ini baru 8,7 juta atau dengan tingkat teledensitas kurang dari 4 persen. Sementara pemerintah menargetkan jumlah sambungan telepon per 100 penduduk sebesar 13% pada tahun 2009. Hal itu berkebalikan dengan penetrasi telepon seluler yang telah mencapai 22,8%. Sampai saat ini terdapat sekitar 43 ribu desa atau 65% desa yang belum terjangkau oleh jaringan telepon. 

Presentase penetrasi internet baru mencapai 8,7% atau sekitar 20 juta pengguna, dan jumlah warnet baru mencapai angka 7.602 dengan 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah seluruh pengguna internet di Indonesia masih didominasi oleh daerah Jakarta dan sekitarnya. Yang memprihatinkan lagi adalah penetrasi personal computer (PC) baru mencapai 6,5 juta unit saja, dengan penjualan PC tahun 2007 diperkirakan mencapai 1.257.531 unit. Hal itu diperparah dengan penggunaan PC dan internet lebih banyak di perkantoran daripada di rumah (home user) dengan perbandingan 5:1. Investasi di sektor telekomunikasi di Indonesia berkisar pada Rp 50 triliun/tahun dimana industri dan jasa domestik hanya berkontribusi sebesar 2%.  Di sektor sumber daya manusia, jumlah perguruan tinggi (baik negeri maupun swasta) yang melaksanakan program informatika/komputer berjumlah 476 perguruan tinggi, bidang komunikasi berjumlah 136 perguruan tinggi, dengan lulusan per tahunnya sebanyak + 25.000 orang, dimana hal ini masih jauh dari kebutuhan secara nasional. Kondisi ini didukung oleh rata-rata partisipasi masyarakat dalam mengikuti pendidikan yang masih rendah. Terutama untuk 7-12 tahun dan 13-15 tahun hanya mencapai angka 95,26% dan 82,09% bahkan untuk tingkat perguruan tinggi hanya mencapai angka 13%. Dari aspek hukum, Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang komprehensif yang mengatur keberadaan TIK serta mengendalikan penggunaan TIK dalam koridor yang bisa dipertanggungjawabkan. Saat ini, RUU Informasi dan Transaksi Elektronik masih dalam tahap pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya akan disahkan menjadi Undang-Undang. 

Selain itu, ada sejumlah masalah yang masih mengganjal dalam mengembangkan TIK di Indonesia. Tetapi yang paling menonjol adalah banyaknya kegiatan atau program yang terkait dengan TIK yang tersebar di berbagai instansi pemerintah sehingga tidak adanya perencanaan yang sinergis dalam mendorong terwujudnya masyarakat informasi. Namun demikian yang terjadi adalah kurangnya koordinasi yang efektif di antara instansi pemerintah dalam mengembangkan serta mengarahkan pembangunan bidang TIK di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan konsolidasi nasional dalam menentukan arah pembangunan TIK serta langkah-langkah strategis yang diperlukan untuk mewujudkan masyarakat berbasis ilmu pengetahuan. Perkembangan TIK yang sangat pesat di Indonesia telah mendorong meningkatnya juga SDM (sumber daya manusia) dari masyarakat Indonesia itu terkait tentang masalah teknologi. Salah satu contoh perkembangan teknologi saat ini adalah software komputer yang dapat menunjang kecanggihan yang dimiliki oleh alat elektronik tersebut.

Beberapa peneliti telah melakukan penelitian dengan cara mengembangkan atau menciptakan software-software baru. Disinilah letak permasalahan terjadi. Banyak pengguna komputer melakukan pembajakan terhadap software-software tersebut. Pembajakan ini tidak hanya dilakukan oleh individu-individu saja, tetapi juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang dikatakan cukup besar. Pembajakan software adalah setiap bentuk perbanyak atau pemakaian software tanpa ijin atau di luar dari apa yang telah diatur oleh Undang-Undang Hak Cipta dan perjanjian lisensi. Beredarnya software bajakan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Menurut laporan Software and Information Industry Association (SIIA), kerugian yang diakibatkan pembajakan software selama lima tahun (1994-1999) mencapai hampir 60 triliun dollar. Kerugian akibat pembajakan terbesar terjadi di Amerika dan Kanada, yaitu mencapai 3.6 milyar dollar atau sekitar 26% dari total kerugian di seluruh dunia.

Di Indonesia sendiri, menurut data Business Software Alliances (BSA), pada tahun 2002 sebanyak 90% software yang digunakan merupakan software ilegal. Statistik ini meningkat dibandingkan pada tahun 2001, yang mencapai angka 88%. Statistik ini sekaligus menempatkan Indonesia pada daftar negara yang harus diawasi dalam hal pembajakan software. Namun perlu dicatat di sini, meskipun dari sisi persentase tingkat pembajakan di Indonesia besar, misal pada tahun 1999 sebesar 85%, namun dari sisi besar kerugian hanya sebesar 42.106 dollar. Angka ini jika dibandingkan dengan kerugian pada tahun yang sama di Amerika dan Kanada yang sebesar 3.631.212 dollar, hanya sebesar 1,1%. Sebuah studi terbaru mengungkapkan bahwa peringkat pembajakan piranti lunak di Indonesia menurun menjadi 85 persen di tahun 2006. Namun kerugian dari pembajakan telah meningkat dari USD 280 juta pada tahun 2005 menjadi USD350 juta tahun lalu.

Di seluruh dunia, 35% piranti lunak yang terinstal pada komputer pribadi (PC) pada tahun 2006 didapatkan secara illegal, dengan jumlah kerugian global mencapai hampir USD40 miliar akibat pembajakan piranti lunak. Kemajuan telah terlihat di sejumlah pasar berkembang terutama sekali China, di mana tingkat pembajakan turun 10% dalam tiga tahun, dan di Rusia, pembajakan turun 7%. Kerugian yang sangat signifikan ini akan berdampak negatif terhadap aspek tenaga kerja, pendapatan dan sumber daya keuangan di industri Teknologi Informasi yang tersedia untuk inovasi masa depan dan pengembangan teknologi-teknologi baru. Di seluruh dunia, untuk setiap dua dollar piranti lunak yang dibeli secara legal, satu dollar didapatkan secara ilegal. Kerugian global meningkat pada tahun 2006 lebih dari USD5 miliar (15%) dibandingkan tahun sebelumnya.

Di industri software ini, Microsoft telah menjelma sebagai sebuah kekuatan yang luar biasa. Hal tersebut tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia lainnya. Ada dua software utama Microsot yang banyak digunakan aplikasinya di seluruh dunia yakni Microsoft windows (operating system) dan Microsoft office (aplikasi perkantoran). Di Indonesia keduanya menjadi penguasa pasar dengan penguasaan di atas 90%. Sesungguhnya produk Microsoft sendiri tidak hanya terbatas pada dua aplikasi tersebut, tetapi juga aplikasi yang lainnya seperti terlihat dalam tabel 1 di bawah ini. Dalam beberapa aplikasi, produk Microsoft tidak sehebat Microsoft office dan windows, misalnya untuk server operating system di Indonesia, Microsoft Indonesia mengakui menguasai 50% pangsa pasar.

Di sisi lain seiring perkembangan industri komunikasi dan informasi, Microsoft juga menjadi pemasok beberapa aplikasi lainnya seperti di telepon seluler. Misalnya untuk telepon seluler Microsoft mengembangkan operating system. Sayangnya di area ini Microsoft tidak seberhasil di operating system (OS) untuk komputer. Penguasa OS telepon seluler dunia saat ini adalah Symbian yang tertanam di 51,7 juta unit smartphone di seluruh dunia, atau menguasai 72,5% pangsa pasar global smartphone selama 2006. OS Linux menduduki posisi kedua dengan pangsa pasar 16,9% dan ketiga Microsoft 4,6%.  Tantangan bagi penguasa pasar seperti Microsoft di operating system dan office system, terus bermunculan. Salah satu penantang yang cukup berkembang pesat adalah aplikasi-aplikasi berbasis open source. Aplikasi berbasis open source memiliki  keunggulan tersendiri, karena karakteristiknya yang terbuka source codenya, sementara Microsoft tidak. Pembajakan tidak hanya merugikan perusahaan software lokal, tapi juga merugikan Negara. Perusahaan software rugi karena produk orisinilnya yang harganya jutaan rupiah harus bersaing dengan produk bajakan yang harganya hanya puluhan ribu rupiah. Negara juga dirugikan, karena software bajakan itu sudah pasti tidak bayar pajak. Menurut data dari studi yang dilakukan oleh BSA (Business Software Alliance) bahwa nilai kerugian yang ditimbulkan akibat pembajakan piranti lunak (khusus untuk kasus di Indonesia) sekitar 197 juta dollar AS untuk semua perusahaan.

Meski Microsoft sendiri tidak menghitung langsung, tetapi tetap saja merasa dirugikan. Artinya, ada opportunity yang dihilangkan akibat tindakan yang dilakukan si pembajak. Kalau kita menggunakan data BSA, bahwa 97 persen piranti lunak di Indonesia adalah bajakan, berarti porsi kita cuma tiga persen, dan 97 persennya lainnya masuk ke kantong orang (pembajak). Dari proses wawancara lebih lanjut akhirnya diketahui bahwa salah satu faktor utama dari maraknya pembajakan software yaitu karena persepsi yang salah (terlepas dari niat awal memang membajak).

Intinya, publik (yang murni tidak tahu) beranggapan bahwa jika seseorang membeli software itu menjadi miliknya. Padahal membeli software itu adalah membeli lisensi hak untuk menggunakan. Jadi, harus dibedakan antara membeli lisensi dengan membeli produk yang langsung bisa dikonotasikan sebagai milik hak pribadi. Prestasi minim ini tentu menjadi hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Pasalnya, kalau dirunut ke belakang, sederet program untuk memasyarakatkan penggunaan software legal di Tanah Air telah digalakkan. Mulai dari sosialisasi hingga rentetan razia oleh pihak kepolisian. Bahkan, pemerintah membentuk tim khusus untuk menangani pelanggaran terkait HaKI ini lewat kelompok kerja yang diberi nama Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual (Timnas HaKI).

Tim tersebut bisa dikatakan sebagai tim elit pemerintah, sebab jajarannya diisi oleh deretan menteri dan pejabat setingkat menteri. Sehingga di awal pembentukannya, tim yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden no 4 tahun 2006 itu diharapkan dapat menjadi penyelamat muka Indonesia di mata dunia yang begitu concern terhadap permasalahan HaKI. Namun, setelah sukses meninggalkan presentase pembajakan 87% menjadi 84% di 2007, serta vonis kelam Priority Watch List di 2006, Indonesia kembali memperlihatkan kemunduran berdasarkan penelitian terbaru. Kekecewaannya pun berlipat, kembali ke daftar Priority Watch List USTR dan presentase pembajakan mengalami kenaikan. Dalam menyikapi permasalahan pembajakan software di Indonesia, Pemerintah Indonesia, melalui Depkominfo (Departemen Komunikasi dan Informasi) telah mengerahkan segala upaya untuk mengurangi tingkat pembajakan software komputer, baik melalui kerjasama internasional maupun lokal. Salah satunya adalah dengan melakukan kerjasama yang diawali dengan disepakatinya MoU (Memorandum of Understanding) dengan Microsoft Corp. yang diwakilkan oleh anak perusahaannya di Indonesia yaitu PT. Microsoft Indonesia. Selain itu, kerjasama ini bertujuan untuk memajukan sektor ICT dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan perekonomian berbasis pengetahuan (knowledged based economy).

MoU ini sendiri dibuat sebagai tindak lanjut dari pertemuan antara Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dengan Bill Gates (Chairman of Microsoft Corporation) pada tanggal 27 Mei 2005.  MoU ini ditandatangani oleh Menkominfo Sofyan A. Djalil yang dalam hal ini mewakili Pemerintah Indonesia dengan Chris Atkinson dari PT. Microsoft Indonesia selaku anak perusahaan Microsoft Corporation. Hal yang melatarbelakangi MoU ini antara lain adalah bahwa Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya ICT, maka oleh karenanya diperlukan suatu implementasi dan penegakan hukum terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual dan Pemerintah berkeinginan untuk mengambil langkah-langkah yang menitikberatkan pada pentingnya penggunaan software berlisensi resmi. Pemerintah Indonesia telah mencapai kesepahaman dengan Microsoft yang memungkinkan komputer desktop di seluruh instansi Pemerintah akan mendapat lisensi resmi.

Ada dua tujuan utama dari MoU ini, yaitu pertama, pemberian lisensi dan penggunaan Microsoft Windows dan Microsoft Office di seluruh kementerian, departemen dan badan pemerintahan Indonesia.  Kedua, mendukung berbagai proyek ICT yang ditandai dengan pembentukan Dewan TIK Nasional dan mendukung pertumbuhan industri ICT di Indonesia. Pemberian lisensi untuk Microsft Windows dan Microsoft Office sebagaimana dimaksud akan mengacu pada kemampuan pendanaan dari Pemerintah Indonesia untuk memenuhi kewajiban pembayaran serta memenuhi ketentuan dalam Keppres No. 80/2003 terkait dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Detail kesepakatan termuat yang intinya lisensi yang akan dibeli adalah sebanyak 35.496 Microsoft Wndows dan 117.480 Microsoft Office.  Sebagai konsekuensinya Pemerintah Indonesia mendapatkan hibah 266.220 lisensi Microsoft Windows dan 266.220 Microsoft Office. Jumlah komputer pemerintah yang menggunakan software ilegal berdasarkan dari data yang dipublikasikan Bank Dunia, IDC dan Intel Corporation sebanyak 500.000 unit komputer. Pemerintah akan mengadakan sensus pada tahun pertama perjanjian ini, dan angka yang tercantum tersebut akan direvisi sesuai sensus tersebut.
Mencermati gambaran MoU tersebut di atas, maka sangat jelas bahwa  permasalahan utama yang akan diselesaikan melalui MoU tersebut adalah masalah banyaknya software Microsoft yang terpasang di instansi Pemerintah yang tidak memiliki lisensi sebagaimana seharusnya. Langkah penyelesaian adalah dengan melakukan proses pembelian sejumlah software Microsoft.

Ada dua poin kesepakatan yang telah disetujui oleh pihak pemerintah Indonesia dengan pihak Microsoft Corp, antara lain legalisasi software komputer milik pemerintah dengan pembelian lisensi Microsoft Windows dan Microsoft Office yang akan jatuh tempo pada tanggal 30 Juni 2007 dan pengembangan proyek-proyek dalam bidang ICT di Indonesia. Akan tetapi, dengan adanya berbagai faktor dan desakan dari berbagai pihak di dalam negeri, kesepakatan dalam hal pembelian lisensi ini pada akhirnya dibatalkan. Salah satu faktornya yaitu, pemerintah kekurangan dana dalam melakukan sensus komputer di instansi pemerintah di seluruh indonesia. Dimana pemerintah pusat hanya memiliki dana sebesar Rp.1,5 miliar, sedangkan dana yang dibutuhkan sebesar Rp.30 miliar.

Selain itu, banyaknya pihak yang menyerukan pemerintah untuk lebih menggunakan teknologi alternatif open source seperti open office, yang bisa diperoleh dengan gratis. Serta potensi berbenturan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha, karena dalam MoU, tidak diadakan proses tender dari pihak selain Microsoft. Terkait batalnya kesepakatan dalam hal legalisasi software dalam MoU ini, pihak Depkominfo menyatakan akan tetap konsisten dalam menggunakan software legal di seluruh instansi pemerintah, namun legalisasi software tersebut akan membutuhkan proses yang bertahap dan juga dipertimbangkannya untuk  penggunaan open source.

Hal ini membuat Microsoft Corp dengan pemerintah Indonesia lebih memfokuskan kerjasama dalam pengembangan proyek-proyek dalam bidang ICT atau biasa disebut Flagship Projects. Proyek-proyek tersebut antara lain :

1. National Single Window
Salah satu program strategis Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional atau DeTIKNas ini merupakan suatu sistem yang mampu melakukan pengajuan data dan informasi, single submission, single processing data dan informasi, serta single decision untuk melakukan suatu release barang. Penerapan NSW dilatarbelakangi oleh adanya kesepakatan antara Indonesia dengan pihak internasional atau kawasan regional ASEAN. Selain itu juga karena kondisi kinerja pelayanan lalu-lintas barang ekspor-impor seperti lead-time (release time) atau waktu penanganan barang impor yang masih terlalu lama. Serta masih banyaknya Point of Services (Titik-titik Layanan) dalam kegiatan ekspor-impor mengakibatkan adanya biaya-biaya atau high cost economy. Disamping itu juga dilandasi karena kepentingan nasional untuk mengontrol lalu-lintas barang negara, terutama terkait dengan isu terorisme, trans-national crime, drug trafficking, illegal activity, intellectual property right, dan perlindungan konsumen. Dalam Proyek ini, Microsoft mendukung DeTIKNas dengan menawarkan bentuk e-forms generator infoPath, yang sudah digunakan dalam usaha pembangunan bersama dengan PBB, untuk membuat 12 UNeDocs. UNeDocs sendiri merupakan dokumen elektronik yang dijadikan standar untuk kemudian diadopsi oleh ASEAN Single Window Project. Dimana InfoPath ini merupakan salah satu produk yang terdapat didalam Office 2003, setiap pemilik lisensi atau pengguna MS Office 2003 dapat berpartisipasi didalam National Single Window Project dan mengirimkan formulir elektronik kepada penyedia layanan atau langsung kepada kepabeanan setempat, melalui koneksi yang terjangkau.

2. e-Education
Dalam bidang pendidikan, Microsoft mendirikan Microsoft Innovation Center (MIC) di Surabaya pada tanggal 18 Maret 2006. Ini adalah MIC pertama di Indonesia, dan ditujukan untuk memajukan Teknologi Informasi (TI) di Indonesia. MIC merupakan pusat pengembangan inovasi dalam pengembangan teknologi dan solusi software yang melibatkan kombinasi dari proyek pemerintah, akademisi dan pelaku industri. MIC digelar secara mendunia, yang sekaligus sebagai kreasi dari konsolidasi brand, untuk memberikan nilai tambah bagi upaya-upaya pengembangan software lokal di masing-masing negara.

Akan ada total 70 MIC yang tersebar di seluruh dunia. Untuk di Indonesia, Microsoft menghadirkan MIC di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya. Pada kerjasama ini, Microsoft Indonesia menyediakan infrastruktur berupa dukungan software secara penuh, tenaga pengajar, serta buku-buku penunjang proses pembelajaran dalam program MIC. Program MIC ini bisa diikuti oleh mahasiswa tingkat akhir, developer dan para peneliti. Ada tiga program yang ditawarkan didalam MIC, yaitu pengembangan modal dasar intelektual, pengembangan kerjasama industri dengan program sertifikasi, serta pengembangan inovasi. Untuk program pengembangan inovasi, program tersebut meliputi pengembangan inovasi arsitektur 64-bit, pengembangan Windows Vista yang akan diluncurkan akhir 2006, serta desain aplikasi yang inovatif. Inovasi dan hasil riset yang akan dihasilkan proyek MIC, nantinya akan dilindungi dengan Capital Intellectual Copyright. Hal ini bertujuan agar pencipta inovasi tersebut bisa lebih leluasa dalam mengarahkan hasil inovasinya.

3. Bina-Independent Software Vendor (ISV) Program
Program Bina-ISV pertama kali diperkenalkan oleh PT. Microsoft Indonesia di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tanggal 30 Agustus 2005. Program ini merupakan salah satu bagian dari fokus Microsoft untuk mengembangkan perekonomian piranti lunak di Indonesia yang menjembatani para Pengembang Piranti Lunak atau Independent Software Vendor (ISV) ke industri. Bina ISV adalah ekosistem yang terdiri dari pengembang piranti lunak lokal, pihak korporasi, pemerintah, komunitas pengembang dan lembaga pendidikan tinggi.

Peluncuran program ini didukung oleh Kementrian Riset dan Teknologi Republik Indonesia, dan Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. PT. Astra International Tbk (Astra) juga turut mendukung program ini sebagai wakil pihak korporasi dan Institut Teknologi Bandung sebagai perguruan tinggi yang akan menghasilkan sumber daya untuk diserap di ISV. Tujuan dari program ini adalah untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi saat ini dimana para prinsipal menjalin kemitraan secara ekslusif bersama beberapa ISV yang telah mapan dan belum merangkul seluruh lapisan pengembang yang ada. Sistem Gugus Korporat memiliki peran yang sangat penting dalam program ini, karena disinilah tujuan akhir dari proses pembinaan yang telah dilakukan dan menjadi motor bagi kelanjutan bisnis ISV selanjutnya. Untuk itu dibentuk Sistem Gugus, dimana pihak korporasi berperan sebagai induk yang membina beberapa pengembang baik kelompok maupun individu sebagai Anak Asuh-nya. Sebagai induk, Astra akan memberikan pengetahuan industri, keterampilan teknis dan bisnis, termasuk di dalamnya keahlian negosiasi, penyusunan kontrak kerjasama, pengelolaan layanan usaha dan lainnya kepada ISV. Melalui program ini, Anak Asuh dapat mengembangkan usahanya dan secara tidak langsung ISV akan dapat menyerap kebutuhan SDM di bidang Teknologi Informasi.

Pada tanggal 3-5 Desember 2007, Microsoft memperkenalkan beberapa ISV dari program Bina-ISV, yakni Rent@soft merupakan sebuah ISV yang bermarkas di Semarang dan fokus di pengembangan piranti lunak untuk Rumah Sakit dan Bank, DyCode merupakan ISV yang berbasis di Bandung dan mengembangkan piranti lunak Port Management System yang digunakan oleh pelabuhan swasta terbesar di Indonesia. Mereka adalah perusahaan piranti lunak lokal yang mulai menunjukkan prospek yang menjanjikan.

Dengan jalannya tiga program tersebut, Pemerintah Indonesia optimis bahwa kondisi Teknologi Informasi di Indonesia akan terus berkembang, yang ditandai dengan mulai banyaknya Independent Software Vendore (ISV) yang sudah direkrut oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia.Selain tiga program yang telah dicanangkan diatas, Microsoft berjanji akan terus melakukan pengembangan dan dukungannya terhadap proyek-proyek dalam bidang ICT, serta terus mendukung perkembangan Independent Software Vendor (ISV) yang berada diseluruh Indonesia, baik melalui kerjasama dengan pemerintah, maupun dengan organisasi non-pemerintah.

Selain itu, dengan meningkatnya pemahaman tentang permasalahan tentang Hak cipta maupun Hak atas Kekayaan Intelektual, yang dipraktekkan oleh Microsoft melalui program-program di dalam MoU ini, diharapkan dapat menurunkan tingkat pembajakan maupun pelanggaran terhadap HaKI.

Hasil Penelitian
1. Kondisi Pembajakan Software di Indonesia pada Tahun 2008-2010
Menurut data yang dikeluarkan oleh BSA dan IDC, tingkat pembajakan software di Indonesia pada tahun mengalami peningkatan dari tahun 2008 sebesar 85%, tahun 2009 sebesar 86%, dan tahun 2010 sebesar 87%. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan utama dilakukannya MoU antara Depkominfo dengan Microsoft tidak tercapai, dikarenakan persentase tingkat pembajakan yang tidak sesuai dengan target pemerintah Indonesia, yaitu sebesar 50%  hingga 70% pada tahun 2010. Hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat ketergantungan masyarakat Indonesia, khususnya instansi pemerintah Indonesia yang masih tinggi terhadap produk software asing, dibandingkan memakai produk Open Source Software (OSS).

2. Peningkatan Jumlah ISV di Indonesia
Berdasarkan Data yang dikeluarkan oleh ISV binaan Microsoft, diperkirakan terdapat 500-an ISV lokal di Indonesia, 251 di antaranya terdapat di daerah Jakarta. Hal yang sama juga dikemukakan oleh IDC, bahwa jumlah software house di Indonesia naik menjadi 500 unit pada tahun 2008, dengan jumlah pengembang profesional sebanyak 71.600 orang. Meningkat dari jumlah 250 unit dari tahun 2006. Laporan IDC juga mencatat bahwa dalam 5 tahun (2004-2009), sektor IT di Indonesia didominasi oleh IT Services. Pertumbuhan ini dapat memberikan 81.000 lapangan pekerjaan dan menumbuhkan 1.100 perusahaan IT baru yang dapat memberikan penghasilan pajak sebesar 1,1 miliar dolar AS dan berkontribusi sebesar 12 miliar dolar AS terhadap GDP. Dalam periode tersebut software spending naik hingga mencapai 11,4% dari total IT spending., khususnya di market vertikal. Sebanyak 29,9% dari seluruh pekerja IT di Indonesia akan terlibat dalam pengembangan, pendistribusian atau layanan implementasi software.

Kesimpulan
Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah RI dengan Microsoft, menimbulkan pro dan kontra di kalangan pihak tertentu dan masyarakat umum. Banyak sekali sangkaan-sangkan di balik adanya MoU tersebut. Mulai dari kepentingan ekonomi, politik internasional, dan lain sebagainya. Pemerintah pun mempunyai alibi sendiri mengenai MoU tersebut, antara lain sebagai bagian dari perlindungan hak cipta. Muncul opini Open Source Software (OSS) yang jelas-jelas tidak berbayar, dapat dikembangkan sesuai kebutuhan dengan kode sumber yang terbuka, dan mampu meningkatkan potensi sumber daya manusia secara nasional.
Berdasarkan konsideran MoU maka tergambar bahwa Pemerintah ingin menjadi pionir (pendahulu) dan pemberi contoh bagi kalangan industri di Indonesia mengenai pentingnya penggunaan software lisensi asli. Selanjutnya secara logis dapat disimpulkan jika kemudian Pemerintah benar-benar membeli lisensi perangkat lunak Microsoft, Pemerintah artinya berkeinginan kalangan industri mengikuti langkahnya tersebut atau setidak-tidaknya mendorong pembelian lisensi perangkat lunak Microsoft. Kebijakan Pemerintah ini justru bertentangan dengan apa yang selama ini diserukan oleh Pemerintah sendiri seperti berbagai kampanye dan Deklarasi IGOS (Indonesian Go Open Sources) oleh 5 (lima) menteri, maupun usaha Kominfo untuk menjadi contoh bagi instansi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika No. 05/SE/M.KOMINFO/10/2005 tentang Pemakaian dan Pemanfaatan Penggunaan Piranti Lunak Legal di Lingkungan Instansi Pemerintah.
Dapat dikatakan, bahwa kesepakatan yang terjadi antara Microsoft Corp. dengan pemerintah Indonesia ini tidak lebih dari kesepakatan dalam bidang ekonomi, dikarenakan kesepakatan ini bersifat tertutup dan hanya dengan satu perusahaan vendor saja, yaitu Microsoft. Pemerintah Indonesia juga mengatakan bahwa adanya MoU ini bertujuan untuk mengurangi pembajakan software di Indonesia dan menaikkan citra Indonesia dalam perdagangan internasional, walaupun tidak berpengaruh banyak terhadap kondisi pembajakan software di Indonesia, dikarenakan persentase tingkat pembajakan software di Indonesia pada tahun 2008 hingga 2010 masih cenderung meningkat. Hal ini berbanding terbalik dengan upaya yang dilakukan, baik Microsoft maupun pemerintah dalam memajukan kondisi Teknologi dan Informasi, khususnya di bidang software yang telah memperlihatkan hasil yang cukup baik. Hal ini terbukti dengan meningkatnya pengembang software di Indonesia pada tahun 2008. Dan merupakan salah satu indikator yang menunjukkan pertumbuhan industri Teknologi Informasi dan Komunikasi di Indonesia.

Saran
1.Seharusnya pemerintah Indonesia, yang diwakilkan oleh Depkominfo meninjau ulang anggaran terlebih dahulu terkait pembelian lisensi software dari Microsoft, dan disesuaikan dengan kemampuan anggaran negara.
2.Seharusnya pemerintah Indonesia lebih konsisten dalam menerapkan dan menjalankan kebijakan IGOS, karena program tersebut memiliki keuntungan yang lebih banyak bagi pemerintah Indonesia. Selain itu juga dapat mendukung ISV di Indonesia, dengan menggunakan dan mempromosikan produk software local.
3.Pemerintah Indonesia diharapkan untuk dapat merubah arah kebijakan kepada pemilihan perangkat lunak yang relatif netral dan tidak membebani keuangan negara seperti dengan lebih mengutamakan pemakaian open source software.
4.Dalam hal upaya mengurangi pembajakan software, diharapkan pemerintah lebih menegakkan hukum tentang Hak Kekayaan Intelektual, mengimplementasikan isi dari perjanjian WIPO dan TRIPs, meningkatkan SDM dalam bidang teknologi dan Informasi, dan mensosialisasikan tentang penggunaan software berbasis opensource serta menjadi contoh dalam hal penggunaan software legal.
5.Bagi Microsoft, untuk lebih mempertimbangkan perbedaan harga pemasaran produk-produk software mereka, dan disesuaikan dengan kondisi Indonesia yang masih tergolong negara berkembang. Dan lebih fokus terhadap upaya-upaya dalam pencegahan pembajakan software diluar lingkup instansi pemerintah Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Ade Maman Suherman. 2003. Organisasi Internasional & Integrasi Ekonomi Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Jakarta, Ghalia Indonesia.

Budiono Kusumohamidjojo.1987. Hubungan Internasional, Kerangka Analitis, Jakarta: Bina Cipta.

Hinca IP Panjaitan. et al. 2005. Membangun Cyber Law Indonesia yang Demokratis, Jakarta, IMLPC.

Rosenoer, Jonathan. 1997. CyberLaw: The Law of the Internet, New York: Springer-Verlag.

SUMBER LAIN :
“Daftar Harga Software Original”, terdapat di http://www.gohoras.com/software.htm, 4 Maret 2013

“5 Modus Operandi Pembajakan Software, Beserta Hukumannya”, terdapat di http://tekno.kompas.com/read/2012/02/17/09510410/5.Modus.Operandi.Pembajakan.Software..Beserta.Hukumannya, 22 Maret 2013


“BSA Piracy Study Standard 2010”, terdapat di http://portal.bsa.org/globalpiracy2010/downloads/study_pdf/2010_BSA_Piracy_Study-Standard.pdf, 11 Maret 2013
“Pengakuan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) di Indonesia”, terdapat di www.dgip.gi.id:8080, 12 Maret 2013

“Index International Property Rights Index (IPRI) 2009”, terdapat di http://www.kedai_kebebasan.org/berita/ekonomi/article.php?id=745, 16 Januari 2013


Microsoft Perkenalkan Program Bina ISV terdapat di http://inet.detik.com/read/2005/09/15/125044/433510/349/microsoft-perkenalkan-program-bina-isv, 02 Juni 2013

Microsoft Dirikan Pusat Inovasi di Surabaya terdapat di http://inet.detik.com/read/2006/03/19/143927/561539/319/microsoft-dirikan-pusat-inovasi-di-surabaya, 28 Mei 2013



“Pe


perty